Mahkamah Konstitusi menggelar sidang permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan) pada Senin (15/5). Implementasi UU tersebut terhadap alokasi dana pelaku usaha perkebunan dinilai tidak optimal.
Permohonan uji materiil UU Perkebunan tersebut diajukan oleh Perkumpulan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Karya Mandiri, Koperasi Perkebunan Renyang Bersatu, dan Koperasi Produsen Perkebunan Harapan Baru Ratu. Para pemohon menilai Pasal 93 Ayat (4) UU Perkebunan bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Gugatan tersebut didasari oleh Para Pemohon yang menyebutkan implementasi Pasal 93 Ayat (4) UU Perkebunan yang tidak dimaknai secara limitatif atau bersifat membatasi. Kuasa hukum para Pemohon, Markus Manumpak Sagala mengatakan implementasi yang tidak sesuai dengan pasal tersebut mengakibatkan alokasi dana dari penghimpunan dana pelaku usaha perkebunan tidak mencapai tujuannya bahkan jauh dari tujuan dalam undang-undang.
“Jika dana sawit peruntukannya tidak berjalan secara optimal, maka akan banyak Petani Kelapa Sawit khususnya para Pemohon dalam menyelenggarakan aktivitas perkebunan mengalami kesulitan dan kerugian yang berdampak buruk bagi hasil-hasil sawit yang diproduksi oleh para Pemohon,” ujarnya.
Lebih jauh dirinya menyampaikan, dana tersebut diperuntukan bagi penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel. Oleh karena itu, hal tersebut sangat merugikan para Pemohon karena tidak mendapatkan hak-haknya secara optimal.
Meskipun demikian, para Pemohon tidak menolak program biodiesel yang menjadi program pemerintah, namun seharusnya pemerintah tidak mengambil alokasi dana dalam pasal tersebut untuk pembiayaan industri biodiesel.
“Penggunaan dana untuk pembiayaan biodiesel bisa saja dilakukan, namun setelah terlebih dahulu dipastikan pengalokasian dana sawit agar lebih bermanfaat untuk masyarakat, sehingga perlu adanya pemaknaan limitatif terhadap program-program yang telah diamanatkan oleh Pasal 93 Ayat (4) UU Perkebunan,” tambahnya.
Atas dasar tersebut, para pemohon meminta agar Pasal 93 Ayat (4) UU Perkebunan harus dimaknai secara limitatif. “Setidaktidaknya dimaknai prioritas agar di dalam pengelokasiaan dana-dana yang telah dihimpun oleh BPDPKS tidak menjadi timpang dan fokus kepada program-program yang tercantum pada Pasal 93 Ayat (4) UU Perkebunan,” urai Markus.
Sementara itu dalam nasihat permohonan, para hakim konstitusi menekankan agar para pemohon sebagai perkumpulan organisasi perlu menyertakan AD/ART untuk mengajukan permohonan ini. Hal ini dikarenakan bersifat akumulatif sehingga penting untuk kedudukan hukum para pihak.
“Semua harus disesuaikan dengan AD/ART masing-masing perkumpulan ini,” ujar Suhartoyo.
Permintaan yang sama juga diajukan oleh hakim konstitusi Wahiduddin. Dirinya juga meminta para Pemohon memperjelas isi dari petitum yang diajukan ke MK.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengungkapkan agar para Pemohon memperhatikan objek permohonan lantaran dalam UU 6/2023 telah mengalami perubahan.
“Ini menjadi pintu masuk untuk pembahasan dalam permohonan. Kemudian pada lembaran negaranya pun berubah mengikuti yang baru pada UU Cipta Kerja,” sebut Daniel.
Pada akhir persidangan, Daniel menyebutkan para Pemohon diberikan waktu untuk menyerahkan naskah perbaikan ke Mahkamah Konstitusi selama 14 hari, yakni 29 Mei 2023.