Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Ciri utama sistem pemerintahan seperti itu ialah mensyaratkan keleluasaan partisipasi politik bagi siapa pun, baik individu maupun kelompok, secara otonom. Tanpa prasyarat tersebut, demokrasi hanya sebatas jargon. Berdasarkan prinsip inilah, pemilu dijalankan dengan berbagai perbaikan sistem pelaksanaannya.
Tujuannya tidak lain untuk memperkuat kualitas demokrasi. Sebab, pemilu yang demokratis sejatinya bertujuan mendapatkan pemimpin yang memperoleh legitimasi politik dari rakyat. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk memperbaiki sistem pemilu yang merupakan salah satu pilar demokrasi. Salah satunya dengan mengubah sistem pemilu menjadi lebih terbuka, tidak lagi tertutup seperti era sebelum reformasi.
Dengan sistem terbuka, rakyat jadi lebih leluasa menilai siapa calon yang akan dipilihnya, baik untuk legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Tidak lagi seperti membeli kucing dalam karung. Namun, menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy’ari, saat ini ada wacana untuk mengembalikan sistem pemilu kembali menjadi tertutup. Wacana itu, kata dia, sedang diproses di dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal inilah yang kini kemudian menimbulkan polemik, terutama di kalangan elite politik. Mereka yang setuju kembali ke sistem proporsional tertutup beralasan sistem terbuka yang digunakan saat ini berbiaya tinggi dan rawan praktik politik uang. Selain itu, dengan sistem tertutup akan kembali memperkuat peran partai politik dalam menentukan calon di parlemen. Jadi, parpol yang akan menentukan siapa wakilnya yang akan duduk di parlemen. Rakyat hanya disuruh mencoblos gambar partai, tanpa tahu siapa calon wakil yang akan dipilihnya. Sistem seperti itu jelas kemunduran, bahkan pengkhianatan terhadap demokrasi, karena mengabaikan asas keterbukaan.
Justru dengan sistem terbuka ini parpol dituntut untuk mencetak kader yang berkualitas, bukan kaleng-kaleng. Bola kini ada di tangan Mahkamah Konstitusi. Apakah lembaga yang juga telah ikut berperan memperbaiki kualitas pemilu itu berani menolak judicial review tersebut, atau malah mengambil langkah mundur dengan mengabulkan gugatan para pemohon? Semoga MK tidak mengkhianati demokrasi yang telah diperjuangkan rakyat dengan susah payah selama ini.